√ Landasan Psikologi Pendidikan

SUMBER


BAB I

PENDAHULUAN

      A.    Latar Belakang

Manusia merupakan subjek dalam kehidupan, lantaran sebagai makhluk ciptaan tuhan dialah yang selalu melihat, bertanya, berpikir dan mempelajari segala sesuatu yang ada dalam kehidupannya. Manusia bukan hanya tertarik mempelajari apa yang ada pada lingkungannya atau sesuatu di luar dirinya tetapi juga hal-hal ihwal dirinya. Dengan kata lain insan ingin mengetahui keadaan insan sendiri, insan menjadi objek studi pemahaman dan pengkajian sesuatu dari sudut karakteristik dan sikap manusia, khususnya insan sebagai individu. Dasar-dasar pemahaman dan pengkajian tersebut diambil dari suatu cabang ilmu yang disebut psikologi.
Pendidikan berintikan interaksi antara pendidik dengan para penerima didik, yang berlangsung dalam situasi pendidikan. Sesungguhnya situasi pendidikan itu tidak hanya berlangsung di sekolah, tetapi juga diluar sekolah. Para pendidik terutama guru ataupun calon guru sebagai individu membutuhkan pengetahuan ihwal psikologi, tetapi sebagai pendidik mereka membutuhkan pengetahuan ihwal psikologi dalam interaksi pendidikan. Interaksi pendidikan merupakan suatu interaksi yang sangat kompleks dan unik, berintikan interaksi antar individu, tetapi berlangsung dalam konteks yang bersifat pedagogis. Banyak segi, aspek, unsur dan korelasi yang membutuhkan pemahaman secara psikologis, juga banyak perlakuan, tindakan, layanan yang memerlukan dasar-dasar atau prinsip-prinsip psikologis, dan banyak perkara yang perlu dianalisis dan diatasi dengan pendekatan-pendekatan psikologis.

B.    Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah diapaparkan diatas sebelumnya, maka perkara yang ingin dipecahkan ialah sebagai berikut :
1.      Bagaimana definisi dari landasan psikologi Pendidikan?
2.      Bagaimana situasi pergaulan pendidikan?
3.      Bagaimana dimensi proses pendidikan?
4.      Bagaimana tugas-tugas pokok perkembangan?
5.      Bagaimana pemahaman terhadap perkembangan kepribadian anak?

C.    Tujuan Penulisan Masalah

Tujuan dari makalah yang kami buat ini ialah sebagai berikut :
1.      Untuk menetahui definisi dari landasan psikologi Pendidikan.
2.      Untuk mengetahui situasi pergaulan pendidikan.
3.      Untuk mengetahui dimensi proses pendidikan.
4.      Untuk mengetahui tugas-tugas pokok perkembangan.
5.      Untuk mengetahui pemahaman terhadap perkembangan kepribadian anak.



BAB II

PEMBAHASAN


A.    Pengertian Landasan Psikologi Pendidikan

Secara etimologi psikologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu psyche yang berarti jiwa dan logos yang berarti ilmu. Kaprikornus secara harfiah psikologi ialah ilmu jiwa. Dewasa ini para andal setuju bahwa psikologi tidak lagi diaritikan sebagai ilmu jiwa atau ilmu yang mempelajari jiwa atau mempelajari gejala-gejala jiwa, tetapi sebagai ilmu yang mempelajari sikap atau kegiatan individu. Karena ada beberapa keberatan terhadap pandangan lama. Pertama, jiwa ialah sesuatu hal yang sukar sekali atau tidak sanggup diamati secara langsung. Kedua, jiwa ialah sesuatu yang ada, akan tetapi tidak sanggup diteliti secara eksklusif dengan memakai metode-metode penelitian biasa. Masalah jiwa ialah urusan tuhan, kepada kita hanya diberi pengetahuan yang sangat sedikit ihwal hali tu. Ketiga, mempelajari jiwa berarti hanya mempelajari sebagian saja dari individu atau  manusia, dengan demikian studi tersebut tidaklah lengkap. (Sukmadinata, 2003:18).
            Menurut Chaplin (Syah, 2011:9) Psikologi ialah ilmu pengetahuan mengenai sikap insan dan hewan, juga penyelidikan terhadap organisme dalam segala ragam dan kerumitannya ketika mereaksi arus dan perubahan dalam sekitar dan peristiwa-peristiwa kemasyarakatan yang mengubah lingkungan.
            Menurut Muhibbin Syah (2011:10) dalam bukunya psikologi pendidikan mengemukakan bahwa psikologi ialah ilmu pengetahuan yang memeriksa dan membahas tingkah laris terbuka dan tertutup pada manusia, baik sebagai individu ataupun kelompok, dalam hubungannya dengan lingkungan.
Psikologi pendidikan berdasarkan sebagian andal yang dikutip oleh (Syah, 2011, hal. 12) ialah sub disiplin psikologi, bukan psikologi itu sendiri. Mereka menganggap psikologi pendidikan tidak mempunyai teori, konsep, dan metode sendiri. Hal ini konon terbukti dengan banyaknya hasil-hasil riset psikologi lain yang diangkat menjadi teori, konsep, dan metode psikologi pendidikan.  Psikologi pendidikan ialah sebuah sub disiplin ilmu psikologi yang berkaitan dengan teori dan perkara pendidikan yang mempunyai kegunaan dalam hal-hal berikut ini:
1.      Penerapan prinsip-prinsip berguru dalam kelas.
2.      Pengembangan dan pembaruan kurikulum.
3.      Ujian dan penilaian talenta dan kemampuan.
4.      Sosialisasi proses-proses dan interaksi proses-proses tersebut dengan pendayagunaan ranah kognitif.
5.      Penyelenggaraan pendidikan keguruan.
Psikologi pendidikan pada dasarnya ialah sebuah disiplin psikologi yang memeriksa masalah-masalah psikologis yang terjadi didalam dunia pendidikan. Lalu, hasil penyelidikan ini dirimuskan kedalam bentuk konsep, teori, dan metode yang sanggup diterapkan untuk memecahkan masalah-masalah yang bekerjasama dengan proses belajar, proses mengajar, dan proses berguru mengajar.
Proses kegiatan pendidikan melibatkan proses interaksi psikho-fisik dalam soiso-kultural yang antropologis-filosofis-normatif. Artinya, bahwa pendidikan ialah suatu kegiatan yang menyangkut interaksi kejiwaan antara pendidik dan penerima didik dalam suasana nilai-nilai budaya suatu masyarakat (sebagai lingkungan pendidikan) yang didasarkan pada nilai-nilai kemanusiaan. Oleh lantaran itu, kegiatan pendidikan selalu melibatkan aspek-aspek: kejiwaan, kebudayaan, kemasyarakatan, norma-norma, dan kemanusiaan. Keseluruhan aspek-aspek tersebut tidak bisa dipisahkan, lantaran prosesnya merupakan kesatuan nilai yang integrated. Namun, dalam kajian secara khusus ini, dalam menganalisis dasar-dasar psikologis apa yang sanggup dijadikan landasan teori dan praktek dalam pendidikan.
Berdasarkan pengertian tersebut, landasan psikologis pendidikan ialah kajian ihwal aspek-aspek psikologis yang sanggup menjadi dasar pemahaman bagi calon pendidik untuk mengenali, menghayati dan mengaplikasikan konsep-konsep perkembangan psikologis dari penerima didik dalam rangka mencapai tujuan pendidikan.
Salah satu aspek tujuan pendidikan ialah mencerdaskan kehidupan bangsa. Artinya, bukan hanya individu atau sekelompok siswa saja yang dicerdaskan, tetapi ialah seluruh bangsa, yaitu bangsa Indonesia. Dalam praktek pendidikan di sekolah, guru sering berhadapan dengan individu atau sekelompok siswa di kelas, yang kondisi maupun potensinya berbeda-beda. Perbedaan yang paling gampang diliat dari aspek psikologisnya ialah kemampuan intelektual, afektifnya, dan psikomotoriknya. Tugas mencerdaskan bangsa, bukan berarti yang dikembangkan ialah kemampuan intelektualnya belaka, tetapi seluruh aspek kepribadian insan Indonesia yang meliputi: kecerdasan intelektual (IQ=Integent Quotion), kecerdasan emosi (EI=Emotional Intelegence), dan masih banyak kecerdasan-kecerdasan lain dalam diri manusia.
Kemampuan intelektual ialah sebagai modal dasar insane yang paling tinggi, sehingga insan dibedakan dengan makhluk lain lantaran akalnya yang luar biasa. Dengan perhatian terhadap perkara intelektual manusia, kita sanggup mempelajari dasar-dasar teori psikologi kognitif. Guru dan pendidik bukan hanya memperhatikan aspek intelektualnya saja, walaupun aspek intelektual sangat penting dalam kehidupan manusia, tetapi kebutuhan-kebutuhan insan dalam hidupnya sangat kompleks yang oleh A. H Maslow dalam buku Individual and Society, mengkategorikan menjadi 5 tingkatan kebutuhan (Krech dkk, 1962: 76), yaitu sebagai berikut:
1.      Kebutuhan fisik, contoh: lapar, haus
2.      Kebutuhan keamanan, contoh: keamanan, aturan
3.      Kebutuhan mempunyai dan rasa cinta, contoh: kasih sayang, mengidentifikasi
4.      Kebutuhan penghargaan, contoh: prestasi, keberhasilan, harga diri
5.      Kebutuhan aktualisasi diri, contoh: kebutuhan untuk menyempurnakan diri

B.    Situasi Pergaulan Pendidikan

Proses pendidikan berlangsung antara pendidik dan anak didik dalan bentuk pergaulan. Baik secara individual maupun secara kolektif. Pergaulan tidak selalu dalam bentuk face to face (tatap muka) menyerupai dalam keluarga ataaupun dalam sekolah, melainkan sanggup terjadi dengan mempergunakan surat menyurat,  telepon, radio, televisi, dan cybernetic (internet). Tidak setiap pergaulan mempunyai sifat pendidikan, sebagai contoh menyuruh anak membeli rokok atau minuman keras. Pergaulan pendidikan ialah korelasi antara dua pihak yang mempunyai maksud yang disengaja untuk memperngaruhi anak didik, sehingga anak didik tersebut berkembang menuju ke kedewasaan.
Dalam perkembangan menuju kedewasaan, seorang pihak individu baik secara ilmiah maupun melalui proses pendidikan, akan selalu melibatkan perkembangan seluruh aspek yang ada pada diri individu itu, baik aspek fisik maupun psikhologisnya. Artinya, perkembangan individu bukan hanya ditandai oleh pertumbuhan fisik semata, tetapi juga di barengi dengan kematangan  aspek psikologis dalam rangka acara tugas-tugas perkembangannya. Sebagai contoh, anak pada usia remaja yang secara fisik mengalami perubahan dan pertumbuhan fisik yang cepat, contohnya panjang kaki dan tangan yang kurang seimbang, sehingga menyebabkan rasa rendah diri atau aib dihadapan sahabat temannya. Kondisi ini bisa mensugesti konsentrasi belajar, sehingga prestasinya bisa menurun. Dengan pemahaman perkembangan psikologis yang juga ditandai dengan perubahan secara fisik, maka guru atau pendidik akan memperlihatkan bimbingan yang sempurna dalam mengatasi permasalahan tersebut. Dalam proses pendidikan, kita akan banyak menghadapi permasalahan pendidikan yang tidak sekedar berkaitan dengan perkara efisiensi dan efektivitas hasil belajar, tetapi pokok permasalahannya ialah bagaimana kita sanggup memahami tugas-tugas perkembangan anak yang secara kontekstual sanggup besar lengan berkuasa terhadap pencapaian tujuan pendidikan.
Dengan dasar pemikiran tersebut, proses pendidikan tidak bisa eksklusif menghasilkan kondisi kedewasaan, lantaran proses kedewasaan itu ialah suatu proses yang berlangsung terus menerus tanpa putus-putusnya. Oleh lantaran itu, pendidik harus bersikap sabar untuk sanggup menunggu tercapainya hasil pendidikannya, sehingga perubahan pada anak didik yang kita harapkan cepat dewasa, tidak akan segera sanggup kita saksikan.
Suatu lingkungan tersebut sanggup memancarkan suasana tertentu, contohnya suasana hangat, dingin, tegang, bermusuhan, ramai, akrab, dsb. Anak-anak yang hidup dalam suasana rumah tertentu akan besar lengan berkuasa terhadap perilakunya, menjadi anak yang hangat, akrab, dingin, ramah, lincah, bermusuhan, dsb. Suasana tersebut banyak dipengaruhi oleh sikap-sikap orang yang ada dalam rumah, dan korelasi psiko-sosial antara anggota keluarga. Setiap anak mempunyai potensi untuk berkembang, dan oleh lantaran itu, pendidik mempunyai kiprah untuk memahami potensi yang dimiliki oleh setiap individu anak untuk mengarah perkembangannya sesuai dengan harapan dan tujuan hidupnya.
Pemahaman terhadap potensi anak didik, merupakan konsekuensi logis bahwa pendidik atau guru harus memahami secara teoritis dan filosofis terhadap tugas-tugas perkembangan anak dan aspek-aspek psikologi lainnya dalam rangka kiprah mendidik. Tugas mendidik, ternyata membutuhkan banyak pendekatan baik yang bersifat ilmiah, filsafah, dan religi. Pendekatan ilmiah yang dipakai antara lain ialah pendekatan psikologis, lantaran dalam mendidik mempunyai kiprah membuatkan potensi yang dimiliki anak dan memahami sikap dan motivasinya dalam rangka tujuan pendidikan. Pemahaman terhadap potensi dan perkembangan psikologis anak didik, dijukan biar dalam memperlihatkan tunjangan perkembangan terhadap anak didik bisa secara tepat, baik kebutuhannya maupun pendekatannya.

C.    Beberapa Dimensi Proses Pendidikan

Pendidikan pada dasarnya mempunyai dimeni tujuan untuk memperbaiki sikap (behavior modification, behavior improvement). Dari pengamatan sehari-hari, kita sanggup mengetahui bahwa binatang juga sanggup diperbaiki tingkah lakunya, contoh: kuda sanggup dilatih sehingga sanggup menari sebagai kuda renggong (keenian Subang), anjing dilatih untuk bisa melacak jejak pencuri atau mengendus obat-obat narkoba, dll. Namun dengan demikian, kita tidak bisa menyatakan bahwa binatang bisa didik dan perlu pendidikan.
Dalam pendidikan, pada dasarnya bukan terletak dalam perbaikan keterampilan menyerupai pada binatang tersebut diatas, melainkan kita mendidik anak biar anak mempunyai integritas kepribadian, serta bisa berbuat secara bertanggung jawab. Kita tahu perbuatan yang bertanggung jawab memerlukan kemampuan menentukan nilai kesusilaan, biar sanggup berbuat kebaikan. Ini hanya mungkin, lantaran insan mempunyai kata hati, yaitu kemampuan insan untuk membedakan antara nilai baik dan nilai buruk, antara nilai buruk dengan nilai indah, antara nilai benar dan tidak benar, nilai adil dan tidak adil, dsb. Kemampuan pada insan inilah yang memungkinkan insan sanggup dididik. Hewan sanggup dilatih, tetapi tidak sanggup dididik, lantaran binatang tidak mempunyai kata hati yang akan sanggup membedakan norma-norma.
Sikun Pribadi (1984) mengutip pendapat Kohnstamm seorang tokoh pendidik Belanda, yang mengadakan pembedaan antara banyak sekali lapisan sikap pada banyak sekali jenis makhluk yang disebut “nevous van gedringen”, yaitu sebagai berikut:
1.      Lapisan sikap anorganis, menyerupai insiden jatuh baik pada makhluk hidup maupun mati, yang keduanya tunduk pada aturan alam yang berupa gaya tarik bumi atau gravitasi
2.      Lapisan vegetatif atau nabati, yaitu lapisan ihwal segala proses yang terdapat dalam badan (pada tanaman, hewan, dan manusia) untuk memelihara kehidupan jasmani, menyerupai pernapasan, pertukaran zat-zat dalam badan yang diambil dari alam sekitar, menyerupai air, udara, makanan, dll.
3.      Perilaku animal atau hewani, yaitu lapisan yang sifatnya sudah berupa dorongan yang bersifat instinktif atau naluriah, contohnya nafsu makan, dorongan seks, nafsu berkelahi, dll. Perilaku ini sanggup diperbaiki hingga pada tingkat tertentu, melalui kegiatan latihan dan pembelajaran terbatas.
4.      Perilaku human atau insane atau manusiawi, yaitu lapisan sikap yang hanya dimiliki manusia. Lapisan ini meliputi potensi-potensi manusiawi, yaitu:
a.       Adanya kemauan yang sanggup menguasai hawa nafsu, sehingga insan sanggup menunda perbuatannya. Kemampuan ini berimplikasi pada kemampuan membuat perencanaan untuk kegiatan yang akan dilakukan
b.      Adanya kesadaran intelektual, sehingga insan sanggup membuatkan ilmunya, memecahkan persoalan-persoalan dengan kemampuan logikanya dan kritisme
c.       Adanya kesadaran diri, yaitu kemampuan menyadari terhadap sifat-sifat yang ada pada dirinya, menilai diri dan membuatkan diri
d.      Manusia sebagai makhluk sosial, sanggup mengatur hidupnya dengan orang lain, mengadakan komunikasi, persahabatan, perkawinan, dan kehidupan bersama dengan sesame insan lain dalam masyarakat
e.       Manusia mempunyai bahasa simbolis, baik kata-kata ataupun tertulis, yang tidak ada pada hewan
f.        Manusia sanggup menyadari nilai-nilai, menyerupai kesusilaan, kebenaran, keadilan, keindahan, dll. Demikian pula insan mempunyai kata hati, yang memungkinkan ia sanggup dididik menjadi insan susila yang bisa membuat karya-karya spektakuler dalam mengelola alam
5.      Lapisan mutlak (absolut). Dalam lapisan ini insan sanggup menghayati kehidupan beragama dan religious, sehingga sanggup berkomunikasi dengan Tuhan dan sanggup menghayati nilai-nilai kehidupan insan yang tertinggi, yaitu kehidupan ketuhanan dan nilai-nilai keberagamaan.

Ditinjau dari segi pendidikan, maka lapisan sikap yang menjadi bidang garapan ialah jenis-jenis sikap dari lapisan human dan mutlak. Dengan demikian lapisan manusiawi sebagian besar menyangkut lapisan kejiwaan atau psikis, sedangkan lapisan ke lima menyangkut kehidupan spiritual. Perlu ditekankan, bahwa setiap lapisan yang lebih tinggi, didalamnya telah tercakup lapisan-lapisan yang lebih rendah, jadi bukan pandangan ihwal lapisan menyerupai masakan ringan manis lapis. Oleh lantaran itu, sebaiknya kata lapisan sebagai terjemahan kata “niveaus” diganti dengan dimensi-dimensi.
Berdasarkan pendapat tersebut, dimensi-dimensi proses pendidikan berkaitan dengan dimensi fisik, dimensi psikologis, dan dimensi spiritual. Dimensi fisik, lebih menekankan pada bagaimana upaya pendidikan sanggup meningkatkan kemampuan dan keterampilan motorik penerima didik dengan dasar pemahaman terhadap tugas-tugas perkembangan fisik seseorang. Upaya pendidikan yang berkaitan dengan dimensi fisik anak manusia, akan menghasilkan tingkah laris yang mempunyai nilai tertentu. Berbeda dengan aspek fisik pada hewan, jikalau binatang telah dilatih ia akan mempunyai keterampilan tertentu, tetapi tidak paham untuk apa keterampilan tersebut. Sedangkan pada manusia, keterampilan yang telah diperolehnya akan bermakna bagi kehidupannya, dan memahami untuk apa keterampilan itu dimanfaatkan.
Pada dimensi psikis yang kita upayakan dalam pendidikan, masih sanggup diperinci lebih jauh lagi, yaitu aspek kognitif (seperti pengetahuan, pengertian, dsb), aspek afektif atau emosional (seperti perasaan, kesenangan, keindahan, dst), serta aspek psikomotorik yang meliputi banyak sekali jenis keterampilan (seperti tingkah laris sederhana; berjalan) hingga dengan yang sangat kompleks menyerupai menjadi pilot Boeing 747, dan pesawat luar ruang angkasa (chalanger).
Pada dimensi psikis, sanggup diperinci lebih jauh lagi, yaitu aspek kognitif, aspek afektif (emosional) serta aspek psikomotorik yang meliputi banyak sekali jenis keterampilan  sampai  dengan yang sangat kompleks menyerupai contohnya menjadi pilot Boeing 747 dan pesawat luar angkasa.
Ada lagi pada dimensi spiritual, upaya pendidikan sangat erat sekali kaitannya dengan aspek keimanan dan ketaqwaan seorang kepada Allah Yang Maha Esa. Upaya pendidikan yang sanggup diimplementasikan dalam kehidupan pendidikan sekolah adalah, menyerupai contohnya: mengenalkan makhluk sebagai hasil ciptaan Allah, kekuasaan dan kemaha besaran Allah, tatanan dan wahyu yang diturunkan melalui Rasul dan para Nabi.
Menurut Suyitno (2012:97) dimensi proses pendidikan dibedakan menjadi empat, dilihat dari aspek tujuan dari pendidikan, yaitu dimensi individualitas, sosialitas, moralitas dan religiusitas. Dimensi individualitas, tujuan pendidikan ialah menghasilkan kedewasaan seseorang, dari aspek kemampuan menentukan nilai sebagai teladan normatif kehidupannya sehingga ada kemandirian. Tujuan pendidikan berdasarkan dimensi sosialitas, yaitu menghasilkan kedewasaan seseorang dalam aspek kemampuannya dalam mengimplementasikan nilai-nilai sosial yang dijadikan acuan kehidupan bersama dan kemampuan membangun suasana dan kondisi kemasyarakatan yang harmonis. Sedangkan berdasarkan dimensi moralitas, berkenaan dengan tercapainya kedewasaan seseorang dalam meyakini  norma-norma sikap yang menjadi tatanan kehidupannya. Sedangkan dari dimensi religiusitas, tujuan pendidikan ialah manakala tercapainya kedewasaan seseorang dalam meyakini  dan mengamalkan nilai-nilai keyakinan agamanya secara konsekwen, sehingga seluruh kehidupannya berdasar pada aturan dan tatanan keyakinan agamanya.
Proses pendidikan sanggup berlangsung dalam banyak sekali jenis dimensi perilaku, yaitu dimensi fisik, psikis, dan dimensi spiritual. Dari aspek tujuan pendidikan, proses pendidikan sanggup meliputi dimensi  individual, sosial, moral dan religius. Proses pendidikan tersebut, sanggup dilaksanakan pada pendidikan formal, informal maupun nonformal. Pada hakikatnya proses pendidikan tidak memisahkan antara dimensi yang satu dengan yang lainnya, sehingga pendidikan dilakukan secara komprehensif dan integrated.

D. Tugas-tugas pokok perkembangan

Tugas-tugas perkembangan berdasarkan Robert Havighurst (Suyitno, 2012:98) ialah kiprah yang terdapat pada suatu tahap kehidupan seseorang, yang akan membawa individu kepada kebahagiaan dan keberhasilan dalam tugas-tugas pengembangan berikutnya, yaitu apabila tahap kehidupan tersebut dijalani dengan berhasil. Sebaliknya, kegagalan dalam melaksanakan kiprah pengembangan, akan menyebabkan kehidupan tidak senang pada individu, dan kesukaran-kesukaran lain dalam kehidupan kelak.
Tahap-tahap perkembangan berdasarkan Erickson (Sikun,1984:156-159) yang dikutip oleh Suyitno (2012:98) ialah sebagai berikut:
1.      The sense of trust (kemampuan mempercayai), kira-kira umur 0 – 12 bulan. Kemampuan dan penghayatan ini telah mulai berkembang semenjak bayi lahir, lantaran diliputi oleh suasana yang hangat, mesra, dan kasih sayang oleh ibu terhadap anak dan semua anggota keluarga, sehingga mempercayai bahwa segala kebutuhan hidupnya terpenuhi. Kemampuan ini ialah dasar kepercayaan pada orang lain, diri sendiri dan percaya bahwa hidup ini penuh dengan kebaikan. Anak yang tidak sanggup membuatkan kemampuan ini, akan menghadapi kesulitan-kesulitan dalam hidup, kurang sanggup menghayati kebaikan-kebaikan dan kebahagiaan hidup, gampang gelisah, akan merasa kurang disayangi dan kurang sanggup mengasihi orang lain, kurang sanggup mempercayai diri sendiri dan orang lain.
2.      The sense of authonomy (kemampuan berdiri sendiri) kira-kira umur 1,5 – 3 tahun. Pada tahap ini anak menghadapi kiprah untuk mempertegas kehadiranna sebagai insan yang mempunyai kesadaran dan kemauan sendiri serta sanggup berdiri sendiri, walaupun dalam hal-hal tertentu ia membutuhkan tunjangan dan bimbingan dari orang lain. Pada masa ini, pendidik sebaiknya jangan meremehkan keberadaan anak, dan dijaga jangan hingga anak dipermalukan.
Pendidik harus mendukung perasaan anak, bahwa ia ialah pribadi yang mempunyai harga diri dan kita perlukan, dengan toleransi, penghargaan dan kehormatan. Kepercayaan tersebut, merupakan pantulan dari kondisi kejiwaan ibu dengan penuh kepercayaan pada diri sendiri, maka kemampuan anak akan otonomi merupakan pantulan dari kondisi kejiwaan orang tuanya, yaitu bahwa mereka mempunyai perasaan harga diri yang mantap
3.      The sense of initiative (kemampuan berprakarsa) kira-kira umur 3,5 – 5,5 tahun. Anak ingin menemukan kemampuan yang tersimpan dalam dirinya. Dia mencari kesempatan dan rasa kebebasan untuk membuatkan kemampuannya itu dengan banyak mencoba-coba, menggandakan orang lain, membuatkan daya fantasinya, kreativitasnya dan inisiatifnya. Banyak kritikan, ejekan, pementingan kemampuannya, akan menghambat perkembangan kepribadiannya, untuk selanjutnya anak membutuhkan dorongan, penghargaan dan dukungan , bukan kritikan dan penekanan.
4.      The sense of accompplishment (kemampuan menuntaskan tugas), kira-kira umur 6 – 12 tahun. Pada periode ini, anak nampak rajin dan aktif, lantaran ingin sekali untuk menjaga perasaan anak jangan hingga anak merasa dirinya rendah diri, merasa kurang bisa berprestasi. Pada satu pihak, kita harus menjaga jangan hingga anak ini kekurangan tantangan tugas-tugas untuk diselesaikan, dan pada pihak lain kita dihentikan terlambat membebani anak dengan tugas-tugas yang dirasakan terlampau berat baginya, yaitu untuk menjaga jangan hingga ia merasa dirinya rendah atau timbul putus asa.
Periode ini juga sanggup disebut umur sekoleh, oleh lantaran itu, anak dihentikan gagal  dalam sekolahnyanya, ia harus sanggup memperoleh kepuasan lantaran ia telah berhasil, dan rasa keberhasilan ini akan memperkuat perkembangan kepribadiannya. Setiap sukses akan memperlihatkan perasaan bisa pada dirinya, bisa menuntaskan tugas-tugas yang dijadikan modal untuk menuntaskan tugas-tugas yang lebih berat.
5.      The sense of identity (kemampuan menyakini identitasnya) kira-kira umur 12 – 18 tahun. Periode ini ialah periode remaja atau adolesensi, yaitu periode dimana anak mencari identitasnya, yang sanggup menjawab siapakan dia, bagaimana sifat-sifat baiknya, bagaimana hubungannya dengan orang-orang lain. Mula-mula ia diombang-ambing antasa perasaan dirinya masih anak-anak, tetapi sebaliknya ia merasa sudah mulai dewasa. Dalam mencari keseimbangan pada dirinya untuk menemukan dirinya, ia mencoba-coba memainkan banyak sekali peranan, dimana ia mencoba mengidentifikasikan dirinya dengan banyak sekali tokoh yang dianggapnya berkepribadian. Ia ingin tahu orang bagaimanakah ia itu, bagaiman orang lain menilai dirinya, apakah ia sudah memenuhi norma-norma yang ideal. Pada umumnya, kesadaran akan identitas anak berkembang dari penilaian oleh kelompoknya, orang tuanya dan oleh dirinya.
6.      Tahap kedewasaan; ada tiga tahap periode ini yang dimulai dari tahap keakraban (intimacy), kemampuan mengurus (generavity), dan tahap keutuhan kepribadian (integrity).
a.       Intimacy (keakraban), merupakan ciri yang penting pada periode dewasa, yang memperlihatkan kedekatan kepada lain jenis, persahabatan, kepemimpinan, kasih sayang, cinta, usaha , persaingan dan cita-cita.
b.      Generativity (kemampuan mengurus), ialah cira yang menandakan seseorang bisa mengurusi orang lain, baik terhadap keluarga maupun masyarakat, sehingga bisa membentuk membentuk keluarga, menyerupai suami bisa mengurusi istri atau sebaliknya dan terhadap anak-anaknya.
c.       Integritu (integritas kepribadian), merupakan tingkat kedewasaan yang penuh tanggung jawab, yang sanggup mendapatkan dirinya dan orang lain, mempunyai rasa sayang terhadap sesama insan lainnya, jujur, mempunyai harga diri yang tinggi dan mempunyai pandangan yang obyektif terhadap dirinya, terhadap orang lain dan terhadap segala insiden dalam kehidupan, serta mempunyai kejiwaan yang stabil dan otentik (tidak dibuat-buat).
Tugas-tugas perkembangan juga berdasarkan pada kajian Havighursts yang dikutip oleh Yelon dan Weinstein (Suyitno, 2012:100) sanggup diuraikan sebagai berikut:
No
Aspek perkembangan
Tingk. Perkemb. Bayi
Tingk. Perkemb. Anak-anak
Tingk. Perkemb. Adolesensi
Tingk. Perkemb. Dwasa Awal
1.
Motorik/gerak
Belajar berjlan, berbicara
Mengembangkan dan mempersiap-kan keterampilan fisik (adanya koor-dinasi gerak
Pertumbuhan menjadi cepat dan perubahan fisik pd masa pubertas.

2.
Mental
Pembentukan konsep-konsep sederhana ttg realitas lingku-ngn sosial mau-pun fisik.
Perkemb. Kete-rampilan yg men-dsr dlm membaca, menulis, dan ber-hitung
Perkembangan keterampilan intelektual dlm persiapan karier
Memulai me-ngenali jabatan dan peranan dlm masyara-kat
3.
Sosial
Belajar untuk bekerjasama dengan orang lain.
Memulai adanya kerjasama dengan kelompok sebaya, membuatkan sikap yang tertuju pada kelompok dan forum sosial
Secara emo-sional anak lbh bebas dari orang tuanya, lantaran adanya hubu-ngan gres dg kelompok sebayanya.
Mulai terbentuk gaya hidup orang dewasa, sanggup menentukan lawan jenis dlm kelompok sosialnya.

Sedangkan ciri-ciri tingkah laris anak berdasarkan kebudayaan barat berdasarkan Suyitno (2012:100-101) yaitu sebagai berikut:
Bagan 2. Beberapa Tipe Tingkah Laku Anak dalam Kebudayaan Barat
Aspek
Anak kecil
Pra sekolah
Anak-anak
Adolesensi
Adolesensi akhir
Fisik
- sangat aktif
- berguru merangkak, memanjat, mkn  sen-diri, membangun balok-balok, dan mencakar
- Belajar membia-sakan buang air
- Sangat aktif
- Koordinasi mata dan tangan secara lbh baik, sanggup mlompat, menangkap, meloncat, berjingkat, menggambar bentuk dan menulis lambat
Banyak berguru keterampilan tangan,
- Otot-otot berkembang lebih baik, bukan hanya sebagian saja
- kekuatan badan sudah meyakinkan, kuat dan telah terkoordinasi otot-otot secara baik
- mengikuti permainan dalam kelompok
- perkemb. selanjutnya seimbang, tangkas, sabar, dorongan, yang kuat, keterampilan yang lebih khusus
- pertumb. yang cepat dan kesadaran tubuh
- kematangan seks
- perkemb. kekuatan, kekuasaaan, fleksibel, cepat, tangkas,
- perbaikan keterampilan
- pertumb. badan mempunyai perbedaan proporsi
- secara fisik sudah matang
- keterampilan gerak sangat baik
Mental
- perkemb. bahasa dari menangis hingga kalimat yang jelas
- selalu bermain
- berguru konsep, warna, satu dan banyak
- benda-benda dilihat sebagaimana adanya
- egosentrik, memahami sedikit pandangan atau perasaan orang lain,
- bagasa dikembangkan lebih baik, berbicara dengan kalimat, perbendaharaan luas, tertarik dengan ceritera
- mempunyai kesulitan berfikir abstrak
- egosentrik sudah berkurang,
- bisa memakai simbol dan bahasa dalam memecahkan perkara dan komunikasi,
- rasa ingin tahu dan gemar membaca
Tertarik pada maksud kata-kata dan senda gurau
-membaca dipakai sebagai alat dan  untuk bergurau
- mulai sanggup berfikir abstrak
- menguji dan menelaah hipotesa
- egosentrik lantaran menganggap bahwa setiap orang memper-hatikannya
- lebih sanggup berfikir secara abstrak
- egosentrik hilang dengan adanya dunia kerja

Sosial
- memakai bhs utk menyatakan keinginanya,
- senang bermain sendiri
- senang bermain/berjalan-jalan dirumah
- menghargai kekuasaan
- mengikuti aturan
- berteman sepintas
- bermain dekat dan sendirian
- tertuju pd klpk yg masih ada imbas keluarga,
- ingin bebas
- mengagumi pahlawan
- memisahkan diri dari jenis kelamin lain
- adanya imbas klpk pada konsep diri
Terbentuknya suasana kelompok utk mencari nilai klpk
-teman sebatas pd umur dan jenis kelamin yg sama
- bercerita ttg kisah percintaan
Merahasiakan keinginan
- bebas dirumah,
- menyesu-aikan diri dg lingkungan
-tertarik pd jenis kelamin lain dan korelasi yang intim
Emosional
-menerima dan membutuhkan kasih sayang
-tergantung pd orangtua
-dari banyak menangis bermetamorfosis lebih tenang
-mulai tertuju pd bentuk2 pribadi laki2 atau perempuan
-terus menerus merepon dg baik
-terpusatnya pada dirinya
-semua harapan emosi dinyatakan
-banyak waktu menginggalkan rumah
-mengidenti-fikasi dg sahabat sebaya
-bergaya menyerupai org dewasa
-mudah melanggar
-berani dan percaya sec. Berlebihan
-ketidakter-gantungannya lebih menetap
-menanyakan ttg siapa pribadinya
-keragu-raguan antara kekanak-kanakan dengan kematangan
-secara emosional blum setabil
-mempunyai identitas kedudukan yang menetap dalm masyarakat
-banyak yg menolak utk menyesuai-kan diri
Respon orang dewasa
-berikan disiplin diri dg konsisten
-memberikan keamanan tanpa berlebihan dg perlindungan
-berceritalah dg anak dan tanggapi pembicaraannya
-berilah kesempatan utk melaksanakan dan penyelidikan
-pujilah belum dewasa utk menuntaskan tugasnya
-berilah anak secara kontinyu tanggung jawab dan kebebasan yg lebih banyak
-ujilah kordinasi yg dipusatkan pd perlombaan keseimbangan
-jawablah pertanyaan2
-berilah banyak penelitian obyek alam
-berilah kesempatan berinteraksi dengan kelompok kerja kecil
-gunakan jadwal kegiatan
-perbanyak bahasa gerak termasuk cerita, dongeng, mengarang, mendiskusikan masalah-masalah, membuat aturan-aturan
Terimalah keinginannya utk bebas yg menambah tggung jwab
-berilah semangat berteman, gnakan pekerjaan dan bermain dg kelompok
-berilah semangat rasa ingin tahu,
-berilah ketetapan, keteguhan disiplin yg sanggup diterima
-persaingan antara wangsit gres dg pandangan baru
-sampaikan hasil buku dan keadilah
-berilah contoh kekerabatan sosial
-tenang pd kritik dan tekanan pd pujian
-berilah kesempatan bermain, baik dalam kelompok temannya secara individual, tertapi jangan terlalu menekankan pd fisik
-terimalah adanya pertambahan kematangan kendalikan kebebasannya, tetapi jangan keterlaluan
-berilah kesempatan utk berdiri sendiri dan bertanggung jawab
-hargailah pandangan anak remaja
-terimalah adannya kematangan
-berikanlah kesempatan yg luas pd bermain olahraga dan pekerjaan utk ketelitian
-libatkan pendidikan karier
-berilah kesempatan berkerja sendiri
-gunakan kelompok utk memecahkan perkara secara bersama-sama
-bantulah menciptkan dan memper-kuat aturan-aturan

E. Pemahaman Terhadap Perkembangan Pribadi Anak

Sebelum kita bahas mengenai pemahaman terhadap perkemangan anak, alangkah baiknya kita mengetahui arti dari pemahaman dan perkembangan dalam konteks psikologi. Menurut kamus besar bahasa Indonesia pemahaman sanggup diartikan sebagai proses, cara, perbuatan memahami atau memahamkan. Sedangkan perkembangan berdasarkan Reni Akbar Hawadi “Perkembangan merujuk pada keseluruhan proses perubahan dari potensi yang dimiliki individu dan tampil dalam kualitas kemampuan, sifat dan ciri-ciri yang baru. Di dalam istilah perkembanagn juga tercakup konsep usia, yang diawali dari dikala pembuahan dan berakhir dengan kematian. (Desmita, 2009:9)
Sebagai makhluk sosial insan selalu berinteraksi dengan orang lain, baik di rumah, di sekolah, atau di masyarakat. Pendidikan dan pengajaranpun pada dasarnya merupakan interaksi, interaksi antara pendidik dan terdidik. Interaksi antar individu insan berbeda dengan korelasi antar benda yang hanya bersifat mekanistik, yang hanya dihubungkan dengan kabal, alatnya dinyalakan maka terjalinlah korelasi kerja antar keduanya. Pada insan bukan hanya sekedar korelasi yang terjalin, tetapi suatu interaksi yaitu saling mempengaruhi, atau korelasi timbal balik. Interaksi insan tidak bersifat mekanistik, tetapi bermacam-macam dan unik. (Sukmadinata, 2003:213)
Menurut Sukmadinata (2003:214) biar individu, terutama para pendidik dan pengajar sanggup berinteraksi dengan individu lain, terutama dengan para terdidik dan siswanya, maka dibutuhkan suatu pemahaman. Baik pemahan ihwal dirinya (self understanding) dan pemahaman ihwal orang lain (understanding the other). Tanpa pemahaman yang mendalam dan meluas ihwal diri sendiri dan orang lain mustahil pendidik dan penerima didik sanggup berinteraksi dengan baik.
Pemahaman terhadap perkembangan pribadi anak, tidak hanya dengan observasi, eksperimen, introspeksi dan tenggang rasa yaitu kemampuannya sanggup menempatkan diri dalam pribadi anak sehingga dunia kejiwaan anak bukan saja sanggup dipahami, melainkan sanggup diarifi. Pemahaman dunia anak bukan hanya sebagai biologis, melainkan sebagai makhluk psikis dan spiritual. Sebagai makhluk biologis, anak sanggup dikenali dari segi kehidupan instinktifnya menyerupai insting mempertahankan diri, berkelahi, lari, berinteraksi dengan orang lain dan lain-lain. Sedangkan dari aspek Psikisnya, anak sanggup dikenali dari banyak sekali dimensi kehidupan kejiwaannya diantaranya motivasinya, emosinya, kognisinya serta kehidupan psikomotornya. Pemaahman dunia anak merupakan upaya membuatkan potensi anak biar memahami kemampuan dirinya, serta mencapai kedewasaan.

a.      Periodisasi Perkembangan

Berdasarkan kesamaan karakteristik dan segi-segi yang menonjol pada periode-periode tertentu, para andal psikologi perkembangan membagi keseluruhan masa perkembangan atas tahap-tahap tertentu. Dalam bukunya Landasan Psikologi Proses Pendidikan karya Sukmadinata banyak paara andal mengemukakan tahap perkembangan yang tidak selalu sama diantaranya:
1.      Aristoteles membagi tahap perkembangan menjadi tiga tahap, yaitu: masa kanak-kanak (0-7 thun), masa anak (7-14 tahun), masa remaja (14-21 tahun)
2.      Jean Jacques Rousseau mengemukakan empat tahap perkembangan diantaranya: bayi (0-2 tahun), masa kanak-kanak(2-12 tahun), masa remaja awal (12-15 tahun), masa remaja yang sesungguhnya(15-24 tahun).
3.      Stanley Hall membagi perkembangan anak atas empat tahap, yaitu: masa kanak-kanak(0-4 tahun), masa anak (4-8 tahun), masa remaja awal(8-12 tahun), masa adolesen (12 hingga dewasa).
4.      Sigmund Freud membagi perkembangan atas masa: oral(0-2 tahun), anal(2-4 tahun), falik (4-6 tahun), latensi (6-12 tahun), dan genital (12 tahun- dewasa).
5.      Piaget lebih melihat perkembangan dari segi intelektual, yang terdiri dari: sensori-motor(0-2 tahun), pra operasional(2-7 tahun), operasi konkrit(7-11 tahun), opersi formal (11 tahun ke atas).
Dapat ditarik kesimpulan bahwa tahap perkembangan kehidupan anak secara umum sanggup dibagi menjadi 4 periode sebagai berikut:
a.       Anak bayi (0-1 tahun)
b.      Kanak-kanak (1-5 tahun)
c.       Anak sekolah (6-12 tahun)
d.      Remaja atau adolesensi ( 12-18 tahun)
                                                         

b.      Karakteristik Umum Perkembangan

1.      Karakteristik Anak Bayi (0-1 tahun)
Menurut (Suyitno, 2012:102) fase bayi juga disebut periode vital (vita= hidup) dalam periode tersebut mempunyai makna mempertahankan hidup, yaitu anak dilengkapi dengan beberapa kemampuan, terutama dengan insting atau naluri. Perilaku mereaksi terhadap lingkungan itu terjadi tanpa berguru terlebih dahulu dan meliputi segi-segi kognitif(kesadaran), afektif (emosi), dan konatif(perilaku yang melibatkan sistem psiko-motorik) serta kejasmanian. Contoh perbuatan insting pada bayi ialah menangis sebagai reaksi dari rasa dingin, maka sesudah di angkat dan dibelai oleh ibunya bayi itu akan diam. Selain isnting dalam menangis bayi juga sudah ada insting sosial sebagai alat untuk memungkinkan anak berkomunikasi dengan lingkungan sosial. Hal tersebut sanggup kita amati ketika bayi akan tersenyum ketika ada ibunya mengajak bicara meskipun bayi tersebut belum mengerti apa yang di ucapkan oleh ibunya.
Selain insting sosial bayi juga sudah ada insting menggandakan dan insting refleks. Insting menggandakan sanggup kita lihat dari anak yang suka menggandakan perbuatan ibunya, menyerupai menggandakan kata-kata “mama” dan terjadi pada awal bayi mulai berbicara. Sedangkan insting refleks sanggup kita lihat apabila ada perubahan cahaya bayi akan berkedip bila cahayanya terlalu kuat. Model kejiwaan anak bayi selain insting dan refleks, juga adanya kemampuan untuk berguru meskipun belum dalam berguru intelektual. Anak kecil sanggup berguru memegang benda, merangkak, duduk dan lain-lain. (Suyitno, 2012:103)
Dalam hal yang berkaitan dengan psikis anak, kita sanggup memperhatikan adanya kesadaran sensor, artinya anak sanggup mereaksi terhadap rangsangan yang tiba dari luar. Dan dengan potensi ekspansi dunia, anak semangit aktif dalam penjelajahan ruang.penjelajahan ruang biasanya anak lakukan ketika ia sudah mulai bisa merangkak dan berjalan. Ia mulai mengenal banyak sekali ruangan di sekitarnya. (Suyitno:104)

2.      Karakteristik Kanak-kanak (3-5 tahun)
Masih dalam buku landasan pendidikan fase kanak-kanak sanggup disebut juga usia pra sekolah sebagai periode peralihan dari masa bayi ke usia anka sekolah. Sebelum anak masuk sekolah, jiwanya telah matang untuk bersekolah, yaitu matang lantaran dipersiapkan di Taman Kanak-kanak ataupun TPA dan jenis pendidikan anak pra sekolah. Kohnstamm (Suyitno, 2012:104) menyebut periode ini dengan periode estetika (keindahan). Periode ini mempunyai tiga ciri khas yang tidak terdapat pada periode lain, yaitu perkembangan emosi kegembiraan kehidupan, kebiasaan da fantasi. Ketiga ciri tesebt sanggup berkembang dengan banyak sekali bentuk ekspresi diantaranya permainan, dongeng, nyanyian, dan menggambar.
Dalam masa hidup kanak-kanak yang bebas dan gembira, belum dewasa dapar menikmati kebahagiaan hidupnya sebagai unsur yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Hal ini pernah dikemukakan oleh J.J. Rousseau sebagai mana yang dikutip oleh (Suyitno, 2012:105) bahwa masa kanak-kanak ialah masa senang sebagai hak setiap anak dalam suasana kebebasan dan kegembiraan hidup. Dengan membuatkan keempat jenis kegiatan, yaitu bermain, menyanyi, mendongeng, dan menggambar  anak sanggup membuatkan daya kreatifitasnya dengan banyak mempergunakan daya fantastisnya.
Perkembangan daya pengindraan juga berkembang pada periode ini yaitu penglihatan termasuk membedakan warna, indera pendengaran untuk mendengarkan nyanyian, meraba yang halus maupun yang kasar,mencicipi rasa, mencium wangi dan lain-lain. Dan perkembangan lain yang sangat penting ialah perkembangan bahasa. Terdapat tiga jenis fungsi bahasa, yaitu untuk menyatakan isi hati dan perasaan, mengadakan komunikasi dengan orang lain, dan sebagai fungsi berfikir dengan memakai banyak sekali jenis pengertian yang terkandung dalam tiap-tiap kata dan kalimat. (Suyitno, 2012:105)
Dari segi minat, anak mempunyai minat egosentrik artinya segala perhatiannya masih berkisar pada kepentingan dan pandangan dirinya, dan belum sanggup memahami kepentingan orang lain. (Suyitno, 2012:106)

3.      Karakteristik Anak Sekolah (6-12 tahun)
Periode ini oleh Kohnstamm disebut periode intelektual lantaran sebagian besar waktu dipakai untuk pengembangan intelektualnya. Perhatian anak sebagian besar ditunjukkan kepada dunia ilmu pengetahuan alam dan sekitarnya, dimana anak senang membaca ihwal kisah petualangan yang menambah dunia pengalamannya. Pada periode ini anak gampang diberi tuags untuk dilaksanakan. (Suyitno, 2012:106)
Anak-anak usia sekolah mempunyai karakteristik yang berbeda dengan belum dewasa yang usianya lebih muda. Ia senang bermain, senang bergerak, senang bekerja dalam kelompok, dan senang merasakan atau melaksanakan sesuatu secara langsung. Oleh lantaran itu, pendidik hendaknya membuatkan pembelajaran yang mengandung unsure permainan, mengusahakan siswa berpindah atau bergerak, bekerja atau berguru dalam kelompok, serta memperlihatkan kesempatan untuk terlibat eksklusif dalam pembelajaran. (Desmita, 2009)
Menurut Havighurst (Desmita, 2009:35) kiprah perkembangan anak usia sekolah dasar meliputi:
1.      Menguasai keterampilan fisik yang dibutuhkan dalam permainan dan aktifitas fisik.
2.      Membina hidup sehat
3.      Belajar bergaul dan bekerja dalam kelompok.
4.      Belajar menjalankan kiprah social sesuai dengan jenis kelamin.
5.      Belajar membaca, menulis, dan berhitung biar bisa berpartisipasi dalam masyarakat.
6.      Memperoleh sejumlah konsep yang dibutuhkan untuk berfikir efektif.
7.      Mengembangkan kata hati, moral dan nilai-nilai.
8.      Mencapai kemandirian pribadi.
4.      Karakteristik Remaja atau Adolesensi (12-18 tahun)
Kohnstamm menyebut periode ini sebagai periode social lantaran dalam masa ini anak mempunyai minat terhadap hal-hal kemasyarakatan, dan senang hidup dalam ikatan organisasi atau banyak sekali klub. Pada tahapan ini perkembangan yang sangat menonjol yaitu perkembangan nafsu birahinya, lantaran aktifnya kelenjar-kelenjar hormone sex, dan mulai tertarik dengan lawan jenis. (Suyitno, 2012:106)
Menurut (Suyitno, 2012:106) Dalam perkembangan moralnya, anak remaja mulai mengenal nilai-nilai rohani, menyerupai nilai keberanian, keadilan, kebaikan, keindahan, dan ketuhanan. Anak mulai mencari identitas dirinya, inin tahu bagaimana orang lain menilai dirinya, memperhatikan nilai-nilai kemasyarakatan dan politik serta kebudayaan.
Desmita (2009:37) mengemukakan bahwa masa remaja ditandai dengan sejumlah huruf penting, yaitu:
1.      Mencapai korelasi yang matang dengan sahabat sebaya.
2.      Dapat mendapatkan dan berguru kiprah social sebagai laki-laki atau perempuan sampaumur yang dijunjung tinggi oleh masyarakat.
3.      Menerima keadaan fisik dan bisa menggunakannya secara efektif.
4.      Mencapai kemandirian emosional dari orangtua dan orang sampaumur lainnya.
5.      Memilih dan mempersiapkan karier dimasa depan sesuai dengan minat dan kemampuannya.
6.      Mengembangkan sikap positif terhadap pernikahan, hidup berkeluarga dan mempunyai anak.
7.      Mengembangkan keterampilan intelektual dan konsep-konsep yang dibutuhkan sebagai warga Negara,
8.      Mencapai tingkah laris yang bertanggung jawab secara social.
9.      Memperoleh seperangkat nilai dan system watak sebagai pedoman dalam bertingkah laku.
Mengembangkan wawasan keagamaan dan meningkatkan religiusitas.

0 Response to "√ Landasan Psikologi Pendidikan"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel